Dewasa ini orang sudah tidak asing lagi dengan istilah burnout. Orang dapat mengalami burnout di mana saja berada. Di dalam kehidupan rumah tangga pun burnout dapat terjadi, terutama pada seorang istri yang harus mengatur segala sesuatunya agar semua tertata dengan baik dan sesuai kebutuhan rumah tangga. Di perjalanan, orang dapat merasakan burnout saat terperangkap dalam kemacetan lalu lintas yang berkepanjangan. Di tempat kerja, dengan kondisi pengap, bising, dan tingkat kompetitif yang sangat tinggi dapat menimbulkan burnout pada karyawan.
Semakin berkembangnya kemajuan di bidang industri sekarang ini, menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa sekarang. Oleh karena itu kualitas dari sebuah organisasi harus benar-benar diperhatikan. Hal tersebut biasanya terwujud dalam upaya peningkatan kualitas karyawan dan pengaturan manajemen organisasi. Peningkatan kualitas karyawan itu penting karena kemajuan suatu organisasi tidak hanya bergantung dari teknologi mesin tetapi faktor manusia memegang peranan penting di dalamnya.
Salah satu persoalan yang muncul berkaitan dengan diri individu di dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah burnout. Burnout dipandang sebagai masalah utama pekerja di dalam lingkungan yang sangat kompetitif, dengan titik berat pada cost control, pengurangan ongkos tenaga kerja, dan peningkatan produktifitas. Tidak diragukan lagi bahwa burnout dapat mempengaruhi kesehatan fisik karyawan dan menurunkan produktifitas kerja, serta meningkatkan angka kecelakaan kerja. Greenberg & Baron (1997) mengatakan, burnout menyebabkan kelelahan emosi (emotional exhaustion), kelelahan fisik (physical exhaustion), penurunan sikap (attitudinal exhaustion) dan kurangnya kepuasan kerja (low feeling of accomplishment).
Sedangkan Muchinsky (1987) mengemukakan bahwa burnout merupakan suatu reaksi antara person-environment yang relative baru, yang dikenali oleh para psikolog di bidang industri dan organisasi. Dikatakan bahwa burnout merupakan sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang muncul di antara orang-orang yang bekerja pada “people work”, misalnya: guru, perawat, pekerja social, dan konselor. Muchinsky menjelaskan lebih jauh, di dalam suatu organisasi terdapat dua kekuatan yang berpengaruh di tempat kerja, satu kekuatan berasal dari individu, dan yang lain berasal dari organisasi.
Ahli lainnya mengemukakan bahwa burnout adalah suatu sindrom kelelahan emosional, fisik, dan mental ditunjang oleh perasaan rendahnya self esteem, dan self efficacy, disebabkan akibat penderitaan stress yang intens dan berkepanjangan (Baron & Greenberg, 1990). Dalam definisi ini tampak bahwa burnout dapat muncul akibat kondisi internal seseorang yang ditunjang oleh factor lingkungan berupa stress yang berlarut-larut.
Kekuatan yang berasal dari individu ini antara lain factor pribadi (misalnya: umur, jenis kelamin, suku), kemampuan, pengetahuan, keterampilan yang dimiliki, minat, dan kepribadian. Semua itu merupakan input atau andil yang diberikan oleh seseorang kepada organisasi. Sedangkan kekuatan yang berasal dari organisasi atau perusahaan meliputi: lokasi, ukuran perusahaan, kecanggihan teknologi yang digunakan, tuntutan tugas dan pekerjaan, role expectation, norma yang berlaku di organisasi, dan iklim yang berkembang di dalam organisasi tersebut.
Seseorang yang bekerja harus mampu menyesuaikan kedua kekuatan tersebut, bilamana orang menerima satu jabatan di organisasi. Respon seseorang terhadap pekerjaan merupakan reaksi yang muncul dan terjadi karena adanya interaksi antara dua sumber kekuatan tadi.
Respon individu pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua yaitu respon fungsional dan respon disfungsional. Respon fungsional akan menguntungkan baik bagi individu maupun organisasi, bentuknya dapat berupa moral kerja yang tinggi, keterlibatan kerja yang lebih mendalam (artinya karyawan dapat menilai kebaikan dan pentingnya pekerjaan yang dilakukan), peningkatan komitmen terhadap organisasi, dan meningkatnya self esteem. Sedang respon yang disfungsional berakibat merugikan individu maupun organisasi. Bagi individu, reaksi yang muncul dapat berupa stress, ketidakjelasan peran, konflik peran, dan burnout.
Munculnya gejala burnout dikalangan karyawan adalah suatu hal yang masuk akal. Apabila stress pekerjaan muncul berulang kali pada orang yang bekerja, maka baik motivasi, keterlibatan antara pemberi dan penerimaan pelayanan, dan perasaan positif terhadap pekerjaan akan menurun disertai dengan meningkatnya perasaan putus asa, rasa tidak senang terhadap pekerjaan serta berkembangnya tingkah laku penarikan diri (Cherniss, 1980).
0 komentar:
Post a Comment